PEMERHATI.ID, OPINI – Kode etik hakim Mahkamah Konstitusi memiliki tujuan yang jelas, yaitu menjaga kehormatan dan martabat hakim dalam menjalankan tugasnya. Namun, ada pandangan bahwa suatu saat nanti, mungkin diperlukan pemikiran ulang terkait penerapan kode etik tersebut.
Alasannya adalah bahwa selama ada kode etik, selalu ada peluang terjadinya pelanggaran, terutama mengingat peran hakim konstitusi yang krusial dalam menjaga konstitusi dan marwah lembaga.
Idealnya, hakim Mahkamah Konstitusi haruslah individu yang tak diragukan lagi integritas dan memiliki kepribadian yang tak tercela. Mereka harus adil, menjadi negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, sesuai dengan persyaratan umum yang diatur dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.
Pentingnya moral dan etika dalam hukum dijelaskan dengan konsep hukum non scripta sed nata lex, yang menunjukkan bahwa meski tidak tertulis, aspek moral tetap harus diperhatikan oleh hukum. Kode etik hakim sendiri dianggap sebagai bagian dari hukum yang bersumber dari kaidah kesusilaan atau moral.
Terkait dengan prinsip-prinsip hukum menurut Lawrence M. Friedmen, seperti struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum, kaidah kesusilaan/moral dapat dipengaruhi oleh struktur dan budaya hukum.
Pentingnya penegakan hukum tanpa intervensi dari kepentingan politik, ekonomi, atau lainnya disoroti. Fiat justitia et pereat mundus (biarlah keadilan terjadi walaupun dunia runtuh) menjadi pijakan bahwa hukum harus tetap ditegakkan tanpa intervensi apapun.
Namun, dalam realitasnya, terdapat pernyataan bahwa hukum bisa netral di atas kertas tetapi dalam proses penegakannya sarat dengan muatan kepentingan politik. Hal ini diilustrasikan dengan perumpamaan bahwa peraturan perundang-undangan seringkali memuat kepentingan penguasa dan pengusaha.
Sebagai contoh, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang menghasilkan perdebatan luas terkait peluang pencapresan Gibran Rakabumi Raka. Dalam konteks ini, pertanyaan muncul apakah substansi putusan tersebut benar-benar mengabdi pada hukum konstitusi atau terpengaruh oleh konflik kepentingan, seperti hubungan semenda antara Gibran Rakabumi Raka dengan Anwar Usman.
Adanya Putusan MKMK Nomor: 2/MKMK/L/2023 yang menjatuhkan sanksi kode etik terhadap Anwar Usman memberikan jawaban terkait dugaan pelanggaran kode etik. Hal ini menciptakan keraguan terkait keabsahan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
Namun, secara hukum, perlu diingat asas Res Judicata Proveritate Habetur yang menyatakan bahwa setiap putusan pengadilan harus dianggap benar dan dihormati sampai ada putusan yang menganulirnya. Untuk menganulir keabsahan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, perlu adanya Putusan MK baru.
Dengan demikian, permohonan uji materi dapat dilakukan kembali dengan dasar Putusan MKMK Nomor: 2/MKMK/L/2023. Hal ini tidak melanggar asas ne bis in idem, karena alasan pengujian atau kepentingan hukumnya berbeda dengan permohonan uji materi sebelumnya.
Dengan demikian, apakah putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tetap sah atau tidak, serta apakah bisa dilakukan kembali uji materil Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017, menjadi pertanyaan kompleks yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam kerangka keadilan dan integritas hukum.
By : Nasrullah, SH.,MH