Menyoal Pembatalan Pegi Setiawan Sebagai Tersangka Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Jika dikaitkan dengan penetapan status seseorang menjadi tersangka oleh penyidik yang tidak didasarkan bukti tentunya hal itu merupakan tindakan sewenang-wenang dan merupakan suatu pelanggaran hak konstitusional warga negara dan selain itu juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945.
Ketentuan dalam Pasal 77 KUHAP mengatur secara tegas dan limitative terkait dengan tindakan hukum apa saja yang termasuk dalam objek praperadilan yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidannya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Namun pasca Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 penetapan tersangka kini menjadi salah satu objek praperadilan.
Menjadikan ketetapan tersangka sebagai objek praperadilan tentunya melahirkan suatu pertanyaan tersendiri dari sisi kewenangan MK dalam konteks uji materil undang-undang terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi memang memiliki kewenangan untuk memberikan penafsiran atas suatu norma berdasarkan UUD 1945, akan tetapi memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan tentunya hal ini bukan suatu upaya penafsiran, karena ketentuan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP tidak ada frasa yang dapat diartikan atau dimaknai sebagai penetapan tersangka.
Dengan demikian fungsi MahkamaH Konstitusi sebagai Negative Legislator telah telah melakukan manuver dengan memposisikan dirinya sebagai pembentuk undang-undang (Positive Legislator) dan ini tentunya bertentangan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sendiri dalam Pasal 24 UUD RI 1945 yang mana hasil Putusan Mahkamah Konstitusi telah membentuk norma baru dalam Pasal 77 KUHAP dalam hal ini penetapan tersangka, pengeledahan dan penyitaan. Akan tetapi hal ini tidak perlu lagi menjadi suatu persoalan yang harus diperdebatkan, cukuplah menjadi suatu objek kajian akademik yang bisa dijadikan sebagai materi pembelajaran.
Dilain sisi saya setuju dengan hal tersebut, karena tujuan utama dari pembentukan undang-undang adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan atas hak asasi manusia. Namun jika kepastian hukum luput dari objek hak asasi yang seharusnya ada dalam undang- undang, maka upaya untuk yang harus dilakukan adalah mengedepankan upaya perlindungan hak asasi tanpa mengesampingkan persoalan kewenangan. Karena segala upaya yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang dan para penegak hukum adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan bukan hanya dalam konteks kepastian hukum semata.
Menjadikan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan tentunya yang mejadi pertanyaan adalah apa yang menjadi tolak ukur sah atau tidaknya penetapan tersangka. Beberapa ketentuan dalam KUHAP yang harus menjadi perhatian yaitu:
- Pasal 1 angka 2 KUHAP Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
- Pasal 1 angka 14 KUHAP menentukan bahwa yang dimaksud dengan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
- Pasal 17 KUHAP menyatakan Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
- Pasal 21 ayat (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
- Pasal 183 KUHAP Menyatakan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
- Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengatur tentang alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah ialah: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (d) keterangan terdakwa.
Jika ketentuan hukum dianalisis dengan menggunakan prinsip titulus est lex dan rubric est lex, maka kita dapat membagi ketentuan tersebut dengan pembagian.
- Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP pada dasarnya mengatur terkait dengan proses penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian.
- Pasal 183 juncto 184 KUHAP merupakan ketentuan hukum yang masuk pada bagian proses pemeriksaaan disidang pengadilan khususnya pada Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa.
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, pasal 21 ayat (1) KUHAP terdapat 3 frasa yang terkait masalah alat bukti yaitu “bukti permulaanâ€, “bukti permulaan yang cukupâ€, dan “bukti yang cukupâ€. Akan tetapi tidak menjelaskan ukuran yang dipakai untuk menunjukkan ketercukupan “bukti permulaanâ€, “bukti permulaan yang cukupâ€, dan “bukti yang cukupâ€, sehingga untuk menetapkan tersangka tentunya membingungkan bagi penyidik apakah minimal dengan adanya laporan ditambah dengan 1 (satu) alat bukti.
Dari pembagian di atas, melahirkan suatu pertanyaan, apakah penyidik boleh menjadikan ketentuan dalam pasal 183 juncto pasal 184 KUHAP sebagai dasar untuk memenuhi frasa “bukti permulaan yang cukupâ€, meskipun Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP terdapat pada BAB terkait dengan proses pemeriksaan disidang pengadilan yang mana sudah masuk dalam rana kewenangan hakim ?. Jika prinsip titulus est lex dan rubric est lex digunakan, maka tidak salah jika penyidik cukup dengan 2 alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Jika hal ini dijadikan dasar oleh penyidikan tanpa mempertimbangkan kualitas dari alat bukti maka tentunya terbuka suatu kemungkinan akan dibatalkan penetapan tersangka melalui proses praperadilan.
Bercermin pada kasus pegi setiawan yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian daerah jawa barat pada tanggal 21 Mei 2024 atau delapan tahun setelah peristiwa pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky pada 27 Agustus 2016. Kasus ini mencuat setelah film Vina: Sebelum 7 Hari tayang di bioskop sejak 8 Mei 2024. Kabid Hukum Polda Jabar, Kombes Nurhadi Handayani mengatakan penetapan Pegi sebagai tersangka telah melewati serangkaian gelar perkara yang dihadiri oleh sejumlah pihak di internal kepolisian.
Penetapan status tersangka terhadap Pegi Setiawan pada 21 Mei 2024 didasarkan pada bukti-bukti yang cukup dan hasil penyelidikan yang komprehensif. Penetapan dirinya sebagai tersangka, Pegi Setiawan melalui Tim Kuasa Hukumnya pada hari selasa tanggal 11 Juni 2024 mengajukan praperadilan terkait dengan keabsahan dirinya ditetapkan sebagai tersangka. Dan hasilnya pada hari senin 8 Juli 2024, Hakim Tunggal Praperadilan Kasus Pegi Setiawan Eman Sulaeman memutuskan penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka tidak sah dan batal demi hukum. Eman Sulaeman menyoroti kesalahan prosedur yang dilakukan Polda Jawa Barat dalam penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka, yaitu:
- Polisi tidak pernah memeriksa Pegi Setiawan sebelumnya sebagai saksi atau pun calon tersangka.
- Penyidik tak pernah memeriksa Pegi atau pun memberikan surat panggilan kepada Pegi Setiawan dalam delapan tahun terakhir.
- Penetapan Pegi Setiawan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) tidak sah menurut hukum.
- Polda Jawa Barat tidak menjelaskan bukti yang rinci mengenai 2 alat bukti untuk menjerat Pegi Setiawan.
Seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, dalam upaya pihak kepolisian hendak melakukan penangkapan dan penahanan, maka calon tersangka berhak untuk meminta diperlihatkan dan mendapatkan surat perintah penagkapan dan surat perintah penahanan, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP. Jika hal ini tidak dipenuhi oleh penyidik, maka penangkapan dan penahan tersebut tidak sah dan bisa diajukan praperadilan dan disertai pemberian ganti rugi. Akan tetapi dalam kasus Pegi Setiawan, justeru polisi tidak perna memeriksa Pegi Setiawan sebelumnya sebagai saksi atau pun calon tersangka, tentunya hal ini tidak sah dan menyalahi prosedur dalam penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka.
Menyoal terkait dengan kesalahan prosedur yang dilakukan oleh pihak Polda Jawa Barat dalam penetapan pegi Setiawan sebagai tersangka, tentunya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dan tidak memenuhi minimal 2 alat bukti dan kesesuaian dengan Pasal 184 KUHAP. Mengenai syarat penetapan tersangka diatur dalam KUHAP yang kemudian telah disempurnakan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU- XII/2014, dimana putusan tersebut menjelaskan penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 merupakan putusan yang berdasarkan pada prinsip penafsiran dan analisis hukum secara sistematis antara Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dengan Pasal 183 Juncto Pasal 184 KUHAP. Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan
mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaanâ€, “bukti permulaan yang cukupâ€, dan “bukti yang cukupâ€. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang- wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Dalam Perkap No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, pada Pasal 1 angka 9 telah dijelaskan dengan norma definisi bahwa “Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah didukung barang bukti patut diduga sebagai pelaku tindak pidanaâ€. Selain itu juga dalam Pasal 25 ayat (1) yang berbunyi “Penetapan tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang buktiâ€. Nah, yang menjadi pertanyaan, apakah dengan 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka Jawabannya belum tentu, alasannya meskipun 2 atau 3 alat bukti, akan tetapi apabila alat bukti tersebut tidak relevan dan tidak admissible maka dapat dipastikan witf of prove atau kekuatan pembuktiannya lemah.
Selain itu penyidik kepolisian juga harus memahami asas hukum Incriminalibus, Probantiones Bedent Esse Luce Clariores yang artinya bahwa dalam perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya. Artinya untuk membuktikan seseorang sebagai pelaku tindak pidana, tidak hanya berdasarkan perasangkaan semata tetapi bukti-bukti yang ada harus jelas, terang, dan akurat dalam rangka meyakingkan hakim untuk menjatuhkan pidana tanpa keraguan sedikit pun. Jika terdapat keragu-raguan maka harus diambil suatu keputusan yang meringankan berdasarkan asas In Dubio Pro Reo. Oleh karena itu, dalam konteks perkara pidana, dikenal suatu adagium “lebih baik tidak menghukum orang yang bersalah daripada dia menghukum orang yang tidak bersalahâ€.
Pihak Polda Jawa Barat dalam penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka, tentunya telah menabrak ketentuan dalam hukum acara pidana, dan tentunya hal ini merupakan suatu hal yang tidak boleh dilakukan. Alasannya karena yang namanya proses penyelidikan dan penyidikan merupakan bagian dari proses hukum acara yang mana berlaku 3 prinsip, lex scripta harus tertulis, lex certa harus jelas, dan lex stricta tidak boleh diterjemahkan lain selain dari apa yang tertulis.
Atas dasar Pembatalan penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka, maka Pegi setiawan berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi berdasarkan pasal 68 dan Pasal 97 KUHAP. Selain itu dalam pengusutan kasus vina harusnya dari awal dilakukan dengan berdasarkan metode penyidikan yang berbasis scientific crime investigation dengan mengedepankan berbagai disipli ilmu pengetahuan dalam mengungkap kasus atau tindak pidana yang terjadi dan menutup potensi pengajuan praperadilan.
Penulis: Nasrullah, MH (Akademisi)