Opini

Pasar Sentral: Renovasi Yang Mengusir Pembeli?

Oleh: Parmin Ishak (Dekan FEB Unisan Gorontalo Utara)

OPINI – Saya tidak sedang bercerita tentang nostalgia pasar tradisional. Saya sedang menyoroti satu kenyataan yang terjadi tepat di depan mata kita: Pasar Sentral Kota Gorontalo telah direnovasi dengan anggaran negara, tetapi kehidupan ekonomi di dalamnya justru perlahan-lahan mati.

Sebagai akademisi yang meneliti perilaku ekonomi rakyat, saya merasa ada yang keliru dalam cara kita memperlakukan pasar tradisional. Kita seolah percaya bahwa dengan mempercantik bangunan, kehidupan akan otomatis kembali. Kenyataannya tidak. Pasar tidak hidup karena cat tembok baru atau karena atap yang tak lagi bocor. Pasar hidup karena aktivitas sosial, karena kepercayaan antara pedagang dan pembeli, karena rasa nyaman yang tumbuh dari kebiasaan, bukan dari brosur peresmian.

Renovasi Pasar Sentral memang membuatnya terlihat layak, tertib, dan bersih. Tetapi saya melihat sendiri bagaimana kios-kios yang dulu penuh kini kosong, bagaimana lorong-lorong yang dulu riuh kini hanya berisi langkah kaki yang jarang terdengar. Pemerintah telah membangun ulang pasarnya, tetapi lupa membangun kembali jiwanya.

Kegagalan ini tidak bisa disederhanakan menjadi “karena pembeli tidak datang” atau “karena pedagang tidak mau menyesuaikan diri”. Kegagalan ini sistemik. Tidak ada strategi aktivasi pasca-renovasi. Tidak ada program untuk mendatangkan kembali pembeli. Tidak ada skema transisi untuk para pedagang kecil yang terbiasa berdagang di ruang yang fleksibel dan terbuka.

Sebaliknya, muncul ruang-ruang alternatif yang menjadi tempat pelarian. Kawasan PPI misalnya, mulai berubah menjadi pasar baru yang ilegal. Di sana, aktivitas ekonomi tumbuh tanpa aturan, tetapi disambut pembeli. Kenapa? Karena lebih mudah diakses, tidak ada pungutan, dan suasananya lebih cair. Ini bukan hanya soal infrastruktur, ini soal perilaku dan persepsi masyarakat yang tidak kita tangani.

Saya tidak membela pasar liar. Tapi saya juga tidak mendukung pasar resmi yang dikelola tanpa kepekaan sosial. Pemerintah, baik kota maupun provinsi, tidak bisa hanya menertibkan. Mereka harus mendengarkan. Mereka harus hadir bukan sebagai aparat, tapi sebagai fasilitator.

Pasar adalah ruang publik, bukan milik pemerintah semata. Ia milik rakyat. Maka penataannya harus dilakukan dengan pendekatan yang manusiawi. Jangan gunakan somasi sebagai alat utama. Gunakan dialog. Lakukan kajian. Hadirkan solusi yang adil, karena yang di atur bukan hanya bangunan tapi sumber penghidupan orang-orang yang mungkin tak pernah duduk di ruang rapat pemerintahan.

Saya ingin tegaskan, ini bukan hanya tentang Pasar Sentral atau PPI. Ini tentang bagaimana negara hadir dalam ruang paling konkret kehidupan rakyat kecil: pasar. Jika kita gagal menghadirkan keadilan di sana, maka kita gagal menjawab fungsi dasar negara: melindungi dan menyejahterakan.

Pemerintah harus menyadari bahwa pembangunan tidak bisa mengorbankan kehidupan yang sudah ada. Penataan pasar harus berbasis data, dialog, dan tanggung jawab kolektif. Setiap lapak bukan hanya tempat berjualan. Ia adalah ruang harapan. Di sanalah anak disekolahkan, dapur dihidupkan, dan harga diri dipertahankan. Pasar ini sudah bersih, benar. Tapi jangan sampai kita membuatnya terlalu steril hingga tak lagi manusiawi. Jangan sampai kita kehilangan yang paling penting dalam pembangunan: manusia itu sendiri.

Penyelesaiannya bukan melalui somasi atau penggusuran yang tergesa, melainkan melalui pendekatan yang humanis. Pemerintah kota dan provinsi harus saling duduk bersama, bukan berhadap-hadapan. Mereka harus melibatkan para pedagang, tokoh masyarakat, dan akademisi untuk menyusun peta jalan yang adil dan beradab. Semua pihak harus mengambil tanggung jawab aktif, karena pasar bukan milik satu lembaga, melainkan milik bersama sebagai denyut ekonomi rakyat.

Di setiap pasar, tersembunyi kisah yang tak tercatat oleh angka. Di balik meja reot dan tenda lusuh, ada harga diri yang ingin dijaga. Ketika kita bicara soal penataan, yang kita sentuh bukan hanya lapak, tetapi juga kehidupan. Maka mari kita akhiri dengan pelukan, bukan paksaan. Mari kita tata kembali ruang-ruang ekonomi rakyat dengan cara yang menghormati martabat mereka.

Karena ketika pasar sepi, yang mati bukan hanya transaksi tetapi juga harapan-harapan kecil yang dulu tumbuh dari semrawutnya tenda dan hiruk-pikuk suara rakyat. Sudah saatnya kita membangun bukan hanya pasar yang bagus, tetapi juga rasa memiliki, rasa adil, dan rasa kemanusiaan.Karena hanya itu yang bisa menghidupkan kembali denyut ekonomi rakyat dan menyatukan kita dalam cita-cita yang lebih besar: keadilan sosial yang berpijak pada kemanusiaan.

Antara Kebutuhan Ekonomi dan Ketegangan Solusi: PPI Harus Jadi Pelajaran Bersama

Gorontalo sedang menghadapi kenyataan pahit dari perencanaan pembangunan yang tidak sepenuhnya selaras dengan denyut ekonomi masyarakat. Alih fungsi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Kelurahan Tenda menjadi pasar alternatif, yang kini disebut ilegal, bukan hanya soal pelanggaran aturan. Ini adalah alarm keras bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan ruang dan pemahaman terhadap kebutuhan riil masyarakat.

saya melihat peristiwa ini bukan sekadar konflik antara dua lembaga pemerintahan Pemerintah Kota dan Pemerintah Provinsi tetapi sebuah kegagalan bersama dalam membaca realitas ekonomi di lapangan. Ketika pasar rakyat muncul di tempat yang tak seharusnya, itu bukan semata soal pembangkangan. Itu adalah jeritan para pedagang kecil yang tak menemukan tempat yang ramah, murah, dan strategis untuk mengais rezeki. Sayangnya, negara dalam hal ini pemerintah di dua level gagal menyediakan ruang itu dengan layak dan terkoordinasi.

Benar bahwa PPI bukan tempat untuk pasar umum. Fungsinya jelas: mendukung aktivitas perikanan. Tapi membiarkan aktivitas ekonomi ilegal berbulan-bulan, tanpa solusi konkret, lalu tiba-tiba menyodorkan somasi dan ancaman pidana? Itu bukan solusi, itu kegamangan.

Pemerintah tidak cukup hanya hadir saat hendak menertibkan. Pemerintah harus hadir dari awal, saat masyarakat butuh tempat berdagang, tempat mencari makan.Karena itu, yang dibutuhkan sekarang bukan saling tuding atau memperkeruh suasana, melainkan keberanian dari kedua belah pihak Pemkot dan Pemprov untuk duduk bersama dalam satu meja, membuka ruang komunikasi yang jujur dan setara. Ini bukan panggung politik, ini soal masa depan ekonomi rakyat kecil yang tak boleh dikorbankan hanya karena ego kelembagaan.

Sudah saatnya juga kita melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Pasar Sentral yang konon telah direnovasi namun justru kehilangan detak nadinya. Jika revitalisasi hanya menghasilkan bangunan megah yang sunyi dari transaksi, maka kita harus berani mengakui ada yang keliru sejak awal dalam konsep dan pendekatannya. Sebuah pasar tidak cukup dibangun dengan semen dan baja, tapi dengan memahami kultur jual beli rakyat dan daya beli mereka.

Dan sebelum bicara soal penertiban, negara wajib menghadirkan solusi. Pemerintah harus menyediakan ruang transisi yang legal, manusiawi, dan terjangkau bagi para pedagang. Mengusir mereka tanpa alternatif nyata bukan penataan, itu pengabaian. Penataan kota tidak bisa dimulai dari penggusuran, melainkan dari perencanaan yang berpihak dan mendengar denyut kehidupan mereka yang paling terdampak.

Kita semua bertanggung jawab atas wajah kota ini. PPI yang berubah fungsi harus jadi pelajaran, bukan kambing hitam. Jika kita ingin menata kota, mari kita mulai dengan mendengarkan denyut nadinya rakyat kecil yang setiap hari bertarung di bawah terik matahari, bukan di ruang ber-AC dengan segelintir dokumen tata ruang di atas meja.

Related Posts