Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmid (Advokat)
HUKUM – Rasnal dan Abdul Muis, dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara yang pada akhirnya divonis bersalah pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA) – Putusan Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023, kemudian ditindaklanjuti Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai ASN oleh Gubernur Sulsel (SK Nomor 800.1.6.2/3937/BKD). Tidak dapat dinafikan, kalau penegak(an) hukum di negeri yang “over-regulasi” ini, telah meninggalkan preseden buruk. Penegak hukum telah menegakkan hukum tanpa hati nurani, tanpa akal sehat, mereka berhukum ala kacamata kuda sebagaimana pernah diperingatkan oleh mendiang begawan sosiologi hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo dan Achmad Ali.
Dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda Rp.50.000.000 kepada dua guru tersebut. Untuk menjadi catatan memori kolektif publik, polisi(penyidik), Jaksa (Penuntut Umum) dan tiga hakim Mahkamah Agung yang terlibat dalam penanganan dugaan suap terhadap Rasnal dan Abdul Muis, mereka semua adalah deretan penegak hukum yang telah menegakkan hukum tanpa nurani.
Di tengah tumpulnya “akal” dan matinya “nurani” deretan penegak hukum itu, patut kiranya diberikan dua jempol untuk 3 Hakim Pengadilan Negeri Makassar, NI Putu Sri Indayani, Abdul Rahman Karim, Arief Agus Nindito, yang sebelumnya melepaskan dua terdakwa dari tuntutan pidana – Putusan Nomor 56/Pid.Sus-TPK/2022/PN. MKS. Kendatipun kemudian, putusan judex facti PN Makassar dianulir secara “membabi buta” oleh Hakim Mahkamah Agung.
Putusan Kasasi
Dengan latar belakang sebagai advokat, saya termasuk bagian dari kelompok yang tidak sepakat untuk putusan bebas perkara pidana di pengadilan tingkat pertama dapat menggunakan upaya hukum kasasi, seharusnya sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, walaupun upaya demikian sudah “dikonstitusionalkan” oleh MK dalam Putusan Nomor: 114/PUU-X/2012.
Adapun dasar argumentasi hukum saya, diantaranya: Pertama, hakim kasasi (MA) hanya memeriksa berkas perkara (surat), tidak pernah berkomunikasi langsung dengan saksi-saksi, terdakwa, sehingga sistem pembuktian hukum pidana, negatief wettelijk, dua alat bukti plus keyakinan hakim, maka sudah pasti pembuktian hakim PN jauh lebih presisi daripada hakim kasasi.
Memang hakim MA selalu berdalil hanya mengadili penerapan hukumnya (Judex Juris), tetapi prakteknya juga memeriksa fakta, silahkan simak dalam kasus Rasnal dan Abdul Muis, hakim kasasi dalam pertimbangan sesungguhnya secara tersurat menyatakan ada fakta kalau kedua terdakwa sebagai tenaga pendidik yang menjadi bagian dari komite sekolah (bertentangan dengan Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan No.75/2016) – Hlm 28 dalam putusan – dan kedua terdakwa telah mendapatkan keuntungan sebesar Rp.11.000.000 – Hlm 29 – (fakta ini berbeda dengan Putusan Tingkat Pertama, Abdul Muis memperoleh keuntungan sebesar Rp. 11.100.000, Rasnal memperoleh keuntungan sebesar Rp.7.800.000, namun untuk uang dalam penguasaan Rasnal sudah diserahkan kepada Abdul Muis sebagai bendahara komite sekolah untuk selanjutnya dibagikan kepada siswa yang membutuhkan, Bukti T-1, T-2.6).
Saya sebenarnya kurang sepakat dengan akhir dari kasus ini, keduanya telah diberikan rehabilitasi oleh Presiden RI Prabowo Subianto. Saya menginginkan agar menggunakan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), guna membersihkan nama keduanya dari tuduhan JPU yang dinyatakan terbukti oleh hakim kasasi, telah mendapatkan keuntungan dari uang komite yang berasal dari orang tua siswa sebesar Rp.11.000.000. Menganulir tuduhan yang telah dinyatakan terbukti itu di tingkat kasasi, bisa dengan melalui konstruksi fakta, keuntungan tersebut tidak bersifat melawan hukum, karena memang dia berhak. Atau setidak-tidaknya, itu bukan keuntungan untuk kedua terdakwa, karena sisa dari uang komite yang telah digunakan untuk membayar guru honorer, tunjangan wali kelas, THR, tunjangan cleaning service, tunjangan tugas tambahan, tunjangan jam lebih, tetap akan digunakan untuk pembayaran yang sama, pada tahun berikutnya.
Pada tingkat pertama, soal kedua terdakwa ini mendapat keuntungan, juga tidak terang dinyatakan tidak terbukti, meskipun kemudian Hakim PN Makassar menerapkan sifat melawan hukum materil berfungsi/bertendensi negatif: negara tidak dirugikan, untuk kepentingan umum, dan terdakwa tidak diuntungkan. Hanya tertemukan kalimat singkat, terdakwa Rasnal atas uang yang berjumlah Rp.7.800.000 telah diserahkan ke bendahara komite sekolah, Abdul Muis, untuk selanjutnya diberikan ke siswa yang membutuhkan (bukti kwitansi), sementara uang sebesar Rp.11.100.000 yang dianggap dalam penguasaan Abdul Muis tidak dipertimbangkan apakah terbukti atau tidak.
Seharusnya, jika memang ada penguasaan uang oleh satu atau kedua terdakwa, kalaupun itu keduanya tidak berhak. Majelis hakim tingkat pertama sepatutnya memberikan pertimbangan, bahwa dengan nilai uang sebanyak itu (7 juta sd 11 juta) merupakan penguasaan yang sifatnya dapat ditoleransi, dengan mengingat kebijakan yang dilakukan oleh terdakwa berikut adanya kesepakatan orang tua siswa, mengumpulkan uang untuk pembiayaan gaji guru honorer, sebagai tindakan jauh lebih besar manfaatnya, terdakwa telah mengambil alih tugas negara dalam mencerdaskan dan mendidik anak bangsa, sehingga perbuatan penguasaan demikian layak dan patut dibenarkan atau dimaafkan.
Tidak Berintegritas
Kedua, hakim kasasi di MA, tidak berlebihan untuk mengatakan mereka rata-rata membuat putusan tanpa didukung dengan integritas yang mumpuni. Pengalaman saya, untuk kasus yang nyata-nyata saja sudah seharusnya dibebaskan, namun karena JPU selalu memaksakan kasasi, jika terdakwa tidak mengawal perkaranya di Mahkamah Agung (untuk masalah seperti ini, saya selalu menolak mengurus, terdakwa sendiri yang menceritakan soal case and carry-nya di MA), hakim kasasi “hantam kromo,” pokoknya kalau kasus korupsi dibuat menjadi terbukti saja.
In case, klien saya memang bebas, di MA, setelah dia sendiri yang mengurus perkaranya di MA. Tapi apa yang saya dapatkan dari pertimbangan putusan bebas itu, kontra memori kasasi saya, tidak pernah satu kalipun disinggung oleh hakim kasasi, pertimbangan putusan kasasi itu sangat miskin nalar hukum.
Terakhir, dengan sekelumit kegalauan saya sebagai advokat, soal kasus Rasnal dan Abdul Muis. Demikianlah bukti dan cerminan betapa hancur dan bobroknya Mahkamah Agung, mereka adalah “iblis kota” yang mustahil menggunakan akal sehat dan hati nurani dalam menegakkan hukum, dugaan rasuah pasti dihukum. Saya berkeyakinan, Rasnal dan Abdul Muis, tidak salah, tapi karena keduanya bukan tipe “demi keadilan pun kebenaran akan dibeli” maka dia dihukum oleh hakim MA.
Ketahuilah, anda selamat dari ketidakadilan, bukan karena pengadilan, tapi karena no viral no justice. Jika sudah viral, polisi yang pernah mentersangkakan anda, jaksa yang pernah menuntut anda, Gubernur yang pernah mem-PTDH-kan anda, sebagian penegak hukum yang mungkin juga pernah memeras anda, kini sedang cari muka, mereka sedang berlomba berebut “citra” dari panggung netizen, media sosial, dan publik.











